Islamisasi Niqob
- Minggu, 11 September 2022
- Didik Purnomo
- 0 komentar
Pada tanggal 9 bulan Oktober 2010, saya berdiri dalam antrian untuk meminta tanda
tangan kepada kepala direktur minha (beasiswa), waktu itu saya berdiri dalam antrian
urutan ke 3, paling depan orang Negeria sedang berdiri didepan pintu yang ukuranya
lumayan sempit, dan didepan saya pas orang kongo, sudah 1 jam lebih kami menunggu
kepala direktur diruangnya sedang mengurus akhwat dari somaliah yang sepertinya ada
sedikit masalah dengan syarat-syaratnya, wajah kami sudah mulai kelihatan letih capek
dan asam ketika sudah 2 jam kami menunggunya, tapi kami berusaha untuk bersabar dan
tidak meninggalkan tempat dulu. Beberapa menit kemudian datang dari arah belakang
dengan nada jalan tergesah-gesah orang kulit putih, entah dia dari Rusia atau
Kazakskistan atau Negara Eropa sana, ia memakai kopiyah putih, berjenggot panjang
kira-kira 8 cm dan berjalabiah putih diatas mata kaki, sepertinya ia hendak memasuki
keruangan bapak direktur, tetapi ia menghadapi kesulitan untuk masuk keruang tersebut
karena terhalang sedikit oleh sikuk-siku tangan orang Nigeria yang sengaja agar tidak
boleh ada orang masuk dulu sebelum bapak direktur mengizinkan, tersentak orang kulit
putih ini merasa tersinggung dengan sikap orang si-Negeria lalu ia bertanya kepada
Nigeriah, “apakah anda seorang muslim???!” tanyanya dengan nada emosi. Orang
negeriah ini merasa tersinggung pula dengan pertanyaan tersebut, akhirnya timbul
percakapan yang panas antar keduanya, hingga orang kulit putih ini berkata “kamu bukan
orang muslim, buktinya kamu tidak memelihara jenggot, berjalabiah dan berkopiah!!”,
orang muslim yang ia fahami layaknya seperti dirinya yang memakai antribut demikian.
Akhirnya orang Kongo ini menengai pertikian argument keduanya hingga emosi
keduanya menjadi surut, mereka saling minta maaf atas sikap satu sama lain. Dan orang
konggo ini menambahi wacana sedikit kepada si kulit putih ini tentang Etika dan Syariah
Islam yang berkaitan dengan sikapnya, saya takjub dengan wawasannya, hingga si putih
ini mengangguk-ngangukan kepala, ia terdiam seribu kata.
Dari cerita singkat diatas kita akan berbicara tentang batasan-batasan antara adat budaya
dan Syariah yang sering kita jumpai dalam sehari-hari. Tidak sedikit yang kita ketehui
ditengah-tengah kehidupan hal-hal yang terlahir dari budaya dengan tidak sengaja
diklaim dengan buta bahkan taklid sebagai bentuk bagian dari ajaran Islam. Secara
otamatis sikap tersebut merupakan pengislamisasian hal-hal yang bukan dari Islam.
Perkara menutupi aurat bagi kaum wanita ini yang akan kita bicarakan, apakah batas
aurat bagi wanita semua jisimnya hingga harus ditutupi dengan kain dengan memakai
niqob (bercadar) ataukah bagaimana..?
Batasan menutupi aurat disana telah mengalami pergesaran pengertian dan tak jarang
salah pemahaman disebagian kaum muslimah pada abad sekarang. niqob atau yang biasa
kita kenal dengan istilah cadar, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah,
seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak,
charshaf di Turki, hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan
Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah mak-na
menjadi pakaian penutup aurat perem-puan semenjak abad ke-4 H.
Ditegaskan oleh Qosim Amin, bahwa dalam kamus Loris mengatakan, pada zaman
dahulu wanita-wanita yunani menggunakan Khimaar ketika keluar rumah sehingga
wajahnya samara-samar tidak terlalu nampak jelas karena terhalangi oleh kain tersebut
seperti yang dikenakan oleh orang timur sekarang. Pada abad ke-4 model berpakain yang
menutupi kepala hingga wajah masih digunakan pada abad 13, ia lebih cendrung
difungsikan untuk menghidari wajahnya dari terpaan debu ketika keluar. Dan merupakan
perbuatan yang berlebihan atau dengan istilah ekstrim jika niqab tersebut dilegimitasikan
sebagai wujud ketaatan beragama.
Almarhum Syekh Azhar Muhammad Sayid Tantawi mengatakan, bahwa bersepakat
jumhur Fuqoha’ dari mahdzab Auza’I, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Astauri bahwa
aurat wanita adalah semua jisimnya kecuali wajah dan telapak tangan bukan dari aurat.
Mereka mengambil dalil dari al-Qur’an surah an-Nur ayat 31 ;
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”.
Ulama Fiqh berijtihad bahwa yang dimaksud dengan “kecuali yang biasa nampak
darinya” yaitu wajah dan tangan adalah yang biasanya nampak dilihat oleh manusia,
sebagai makhluk yang bersosial dengan lainya, maka kedua bagian tersebut bukan
termasuk dari aurat.
Bahkah madzab malikiah mengatakan bahwa termasuk perbuatan bid’ah jika pakai
tersebut dinisbatkan busana Islami,
Fenomena yang saya lihat di Cairo seperti ditempat madrasah, kuliah, kantor, pasar,
rumah sakit, di bis hingga di pinggir jalan, wanita mesir masih lumayan banyak yang
memakai niqob, bahkan yang lebih banyak wanita dari Negara Eropa yang sedang study
di Mesir. Negara Mesir memberikan kebebasan beragama kepada masayarakatnya
dengan syarat tidak sampai bertentangan dengan Islam dan peraturan pemerintah. Perkara
niqob pun hal yang sudah biasa dan tidak aneh bagi masayarakat sekitar, si pemakai
mungkin merasa menikmati dengan yang diyakininya dan yang lain tidak merasa
dirisaukan.
Tetapi disisi yang lain tokoh agama MUI Mesir prof. Ali Jumah dan mentri waqaf Prof.
Mahmud Hamdi Zaqzuq, pernah memberikan sebuah wacana tentang pakian yang
menutupi seluruh jisim wanita termasuk wajah dan sebagian yang masih dilihatkan
matanya (bercadar). Para tokoh tersebut ingin memberikan pengertian bahwa disana ada
yang dinamakan budaya dan ada yang dinamakan dari Islam, mereka khawatir kepada
masyarakat yang memahami bahwa bercadar merupakan tuntunan agama Islam, sehingga
itu menuntut baginya untuk melakukan dan mensiarkanya.
Prof.Mahmdud Hamdi Zaqzuq mengatakan bahwa perkara itu tidak ada hubunganya
dengan kebebasan kepribadian, justru hal itu melawan karakter alami manusia. Dalam
ritual ibadah Haji dan Sholat Islam mewajibkan bagi muslimah untuk membuka
wajahnya, dan tidak ada dalil dari qur’an dan sunnah ataupun dari akal sehat yang
mendukung untuk menutupi wajah. Maka niqab adalah sebuah adat yang lebih sering
bertaklid dari keturunan dan itu bukan dari Ibadah, karena ibadah jika ada dalil yang jelas
dari Islam. Sudah menjadi masyhur bagi wanita yang bodoh dan menganggap itu dari
Islam, ia menutupi wajahnya tetapi kedua matanya nampak terlihat, sesungguhnya
perbuatan itu adalah adap kebudayaan saja.
Mufti pemerintahan Mesir Prof. Ali Jum’ah mencoba menyederhanakan perkara tersebut
dengan sebuah pertimbangan adat budaya yang sudah diyakini person bahwa busana jenis
itu merupakan bawaan dari keluarga tanpa mengaitkan dengan agama yang diyakininya,
bahwa hal itu boleh saja dan bukan merupakan kewajiban yang ditutunkan oleh Islam.
Dan masih banyak lagi bentuk contoh yang kita temui dikehidupan sehari-hari yang pada
aslinya merupakan karya kreativitas dari adat suatu peradapan yang pada akhirnya
bergeser otomatis menjadi sebuah bentuk bagian dari islami. Semua itu tidak ada masalah
jika hal itu sudah menjadi tradisi sekitar dan tidak mempengaruhi gangguan dari system
peraturan pemerintah, budaya dan agama. Hanya saya saja pengeklaiman tersebut tidak
berhak disandarkan bagian dari nilai-nilai ajaran Islam. Islam mengajarkan tidak radikal
dalam beragama dan tidak ekstrim dalam menjalankan syariahnya